Minggu, 13 Desember 2009

ENERGI HIJAU; POTENSI PENGEMBANGAN ENERGI NON FOSIL

Gusmailina & Han Roliadi




Ringkasan

Energi hijau adalah energi bersih yang tidak mencemari atau menambah polutan ke atmosfer. Energi ini bisa berasal dari air, hydrothermal, hydropower, geothermal, angin, matahari, sampah, biomass, biofuel, hingga gelombang. Di masa datang, semua energi hijau harus menjadi kebijakan utama pengembangan dan pemanfaatan energi. Jadi, sebaiknya renewable energy ini harus dikedepankan, bukan dijadikan alternatif.
Dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Terbatasnya sumber energi fosil yang menyebabkan perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi yang akhir-akhir ini lebih akrab disebut pengembangan energi hijau atau energi non-fosil yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui. Apabila dikelola dengan baik, sumber daya tersebut tidak akan habis. Terkait dengan pemanfaatan BBN, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 mengenai penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar lain. Presiden telah menginstruksikan kepada sejumlah menteri dan instansi pemerintah terkait (daerah atau pusat) untuk mengambil langkah – langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain.
Tulisan ini menguraikan sekelumit tentang energi hijau serta potensi pengembangannya, antara lain energi biomassa, energi biofuel, energi biodiesel, energi biogas, dan energi dari sampah dengan konsep waste to energy.

*) Peneliti Utama pada Pusat Litbang Hasil Hutan
**) makalah penunjang pada Asean Seminar

PENDAHULUAN

Saat ini paradigma dan pola pandang terhadap penyediaan energi harus berubah arah. Awalnya memburu energi (energy hunting) dari energi yang tersedia, berubah menjadi ke pola upaya membudidayakan energi (energy farming) dengan hasil berupa energi nabati, atau dengan kata lain dari BBM (bahan bakar minyak) menuju BBN (bahan bakar nabati/energi hijau). Diketahui bahwa energi yang bersumber dari fosil termasuk bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui, juga tidak ramah lingkungan sehingga dikenal sebagai pemicu polusi udara. Sementara penggunaan sumber energi nabati (energi hijau) merupakan pilihan yang paling tepat, mengingat kondisi lahan dan iklim yang mendukung serta sebagian besar penduduknya bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan atau kehutanan. Pengembangan energi hijau disamping dalam rangka diversifikasi energi untuk mengatasi krisis energi juga untuk menunjang upaya diversifikasi usahatani, agro industri, meningkatkan pendapatan petani, serta sebagai rosot CO2 dalam mitigasi pemanasan global.

Konsumsi BBM yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya sekitar 1 juta/barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang. Sekitar 8-10 tahun, Indonesia akan kehabisan sumber energi minyak bumi. Sebagai contoh, produksi minyak bumi Indonesia yang telah mencapai puncaknya pada tahun 1977 yaitu sebesar 1.7 juta barel per hari terus menurun hingga tinggal 1.125 juta barel per hari tahun 2004. Di sisi lain konsumsi minyak bumi terus meningkat dan tercatat 0.95 juta barel per hari tahun 2000, menjadi 1.05 juta barel per hari tahun 2003 dan sedikit menurun menjadi 1.04 juta barel per hari tahun 2004. Sebentar lagi Indonesia akan mengalami defisit energi dengan volume defisit yang akan semakin meningkat. Kenaikan harga BBM yang terjadi pada saat ini cenderung akan berulang lagi pada beberapa waktu ke depan, mengingat cadangan dan sumber minyak bumi dunia juga semakin menurun. Penurunan sumber minyak bumi dunia akan berdampak pada peningkatan harga minyak dunia, yang secara langsung maupun tidak langsung juga akan meningkatkan harga BBM di dalam negeri.

Sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi energi terbarukan yang luar biasa besarnya. Pemerintah (cq Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral) telah mendorong pemanfaatan dan pengembangan energi terbarukan melalui berbagai kebijakan yang tertuang dalam UU, PP maupun KePMen ESDM. Namun kebijakan tersebut belum semuanya dapat diimplementasikan dan bahkan belum merangsang investor untuk memanfaatkan usaha di bidang energi terbarukan ini.

Sumber Energi terbarukan, yang sering disebut sebagai energi alternatif antara lain, berupa air (hidro, mini/mikro hidro), panas bumi, biomasa (limbah organik), sinar matahari (surya) dan angin. Selain sumber energi air yang telah dimanfaatkan untuk listrik hingga 14,2% (dari potensi 458,75 MW) dalam bentuk mini/mikro hidro, pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan lain masih sangat rendah. Pemafaatan sumber energi air (hidro) baru 5,1% dari potensi setara 75,67 GW listrik, panas bumi 4,1% dari potensi 19,66 GW, biomasa 0,6% dari potensi 49,81 GW serta matahari dan angin masih di bawah permil dari potensinya. Rendahnya pemanfaatan sumber energi terbarukan ini sesungguhnya merupakan suatu ironi, mengingat beberapa tekonologi pemanfaatannya sudah dikuasai (misalnya teknologi pembangkit listrik dari energi terbarukan).

Beberapa jenis energi terbarukan memang sangat tergantung waktu dan keadaan (matahari, angin atau air), sehingga sulit untuk digunakan secara berkelanjutan. Biomasa merupakan sumber energi terbarukan dengan potensi yang sangat besar dan tidak akan pernah habis. Potensi biomasa dari pertanian, perkebunan dan kehutanan saja tercatat dapat dihasilkan dari limbah produksi seperti; padi, jagung, ketela, bagas tebu, kelapa, kelapa sawit dan limbah pemanenan hutan, limbah pengolahan kayu dan lain sebagainya. Sebagai contoh dari industri kelapa sawit saja dihasilkan limbah biomasa sebesar 1.075 juta m3 pertahun, yang bila diolah akan menghasilkan energi setara dengan 516.000 ton LPG atau 559 juta liter solar atau 666,5 juta liter minyak tanah atau 5.052,5 MW listrik.

Dalam kaitan dengan potensi limbah biomasa, penelitian dan pengembangan perlu membuat terobosan untuk menjadikan sumber energi terbarukan segera dapat dimanfaatkan secara nyata. Terobosan tersebut harus menyangkut aspek kebijakan riset, pengembangan dan penerapan teknologi pemanfaatan energi terbarukan yang dapat diaplikasikan dengan mudah serta menghasilkan energi yang murah.

POTENSI ENERGI NON FOSIL (ENERGI HIJAU) DI INDONESIA

Beberapa pendapat mengemukakan bahwa energi hijau adalah energi bersih yang tidak mencemari atau menambah polutan ke atmosfer. Energi ini bisa berasal dari air, hydrothermal, hydropower, geothermal, angin, matahari, sampah, biomass, biofuel, hingga gelombang. Salah satu yang termasuk energi hijau adalah biofuel. Di masa datang, semua energi hijau harus menjadi kebijakan utama pengembangan dan pemanfaatan energi. Jadi, sebaiknya renewable energy ini harus dikedepankan, bukan dijadikan alternatif.

Dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Terbatasnya sumber energi fosil yang menyebabkan perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi yang akhir-akhir ini lebih akrab disebut pengembangan energi hijau atau energi non-fosil yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui. Apabila dikelola dengan baik, sumber daya tersebut tidak akan habis. Terkait dengan pemanfaatan BBN, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 mengenai penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar lain. Presiden telah menginstruksikan kepada sejumlah menteri dan instansi pemerintah terkait (daerah atau pusat) untuk mengambil langkah – langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga kategori. Yang pertama adalah energi yang sudah dikembangkan secara komersial, seperti biomassa, panas bumi dan tenaga air. Yang kedua adalah energi yang sudah dikembangkan tetapi masih secara terbatas, yaitu energi surya dan energi angin. Dan yang terakhir adalah energi yang sudah dikembangkan, tetapi baru saja sampai pada tahap penelitian, seperti energi pasang surut.

Energi Biomassa

Energi ini berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya. Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan peternakan atau bahkan sampah. Energi ini mampu menghasilkan panas, membuat bahan bakar dan membangkitkan listrik. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung (briket arang dari limbah kayu, tempurung kelapa, sisa bahan kelapa sawit, sekam, dan limbah pertanian lainnya) dan konversi biomassa menjadi bahan bakar..Hasilnya dapat berupa gas biomassa, bio ethanol, bio diesel dan bahan bakar cair (BTL).

Menurut Manurung, setiap tahun terdapat sekitar 160 miliar ton biomassa dari areal pertanian dan 80 miliar ton dari areal perhutanan. Sebagai contoh, ampas tebu, sekam padi, batang dan tongkol jagung, pelepah dan tandan sawit, serta beragam limbah lainnya. Padahal jika diolah, 240 miliar ton biomassa itu setara dengan 60 ton BBM. Dari sektor perkebunan seperti industri teh, limbah biomassa yang diproduksi setiap tahun mencapai 5,8 miliar ton atau setara dengan 2,32 ton BBM. Sementara tahun ini diperkirakan ada sekitar 17,7 juta ton biomassa yang menjadi limbah penggilingan padi. Angka tersebut setara dengan 7,07 juta ton BBM, belum lagi yang tercatat dari sektor perhutanan. Jika teknologi pengolahan biomassa itu dikembangkan, bisa dihitung betapa besarnya penghematan yang bisa dilakukan. Sebagai contoh, pengeringan 124.500 ton teh membutuhkan biaya Rp 177miliar (Manurung, 2007).
Adapun secara keseluruhan, potensi biomassa Indonesia yang bisa digunakan untuk substitusi energi mencapai 49,81 GW. Akan tetapi yang bisa dihasilkan baru sekitar 0,3 GW saja (Sumaryono,2007). ''Dari limbah pertanian, perkebunan dan kehutanan serta industri berbasis kayu, yang bisa dijadikan biomassa mencapai 120 juta ton. Sehingga apabila sudah dimanfaatkan secara optimal, tahun 2010 secara signifikan biomassa akan berdampak terhdap upaya subtitusi minyak bumi hingga 10 persen, selain itu juga perbaikan ekonomi di pedesaan. Beberapa tahun belakangan ini meski masih terbatas, biomasaa telah mulai digunakan di sejumlah daerah, seperti Banjarmasin, beberapa wilayah di Sumatera serta NTB, khususnya untuk keperluan pembangkit listrik. Energi listik itu sendiri dihasilkan dari pembakaran limbah pada tungku pemanas.

Peran serta Perhutani dalam mengembangkan energi biomassa

Untuk membantu meminimalkan dampak kenaikan BBM bagi masyarakat, Perhutani yang wilayahnya berada atau dikitari desa-desa di sekitar hutan, umumnya termasuk desa miskin, sehingga berupaya melakukan antisipasi untuk mengamankan sumberdaya hutannya. Karena bagi masyarakat sekitar hutan sudah menjadi kebiasaan menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak dan sudah terbiasa pula masyarakat mengambil dari hutan. Dahulu kayu bakar tidak terlalu bernilai ekonomi tetapi sekarang dengan tingginya harga BBM yang dibarengi dengan kelangkaan minyak tanah, masyarakat sangat merasakan bahwa pentingnya hutan untuk mendukung kehidupannya mereka dalam penyediaan energi. Awal tahun 2008 peran serta Perhutani dalam menyumbang bahan bakar biomassa kepada masyarakat secara gratis sebesar 21 juta ton terdiri dari limbah kegiatan tebangan, penjarangan, trubusan 3.188.150,7 ton dan limbah pabrik 17.885.000 ton. Masyarakat mendapat bio massa untuk kayu bakar berupa dahan dan ranting-ranting pohon pada saat tebangan dan hasil trubusan. Kayu dari penjarangan pertama bahkan diserahkan kepada masyarakat. Tunggak sisa tebangan bukan hanya untuk kayu bakar tetapi juga dimanfaatkan untuk industri kerajinan rakyat yang bernilai tinggi. Bio massa yang lebih besar diperoleh di sektor industri yaitu dari daun kayu putih dan limbah industri kayu gergajian. Sebesar 127.896 ton masih dimiliki Perhutani sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, yang berasal dari limbah pabrik pengolahan kayu, gondorukem, minyak kayu putih, seedlack dan ylang-ylang (anonimus, 2008)

Energi Bio Ethanol

Energi Bioethanol digunakan sebagai substitusi sebagian atau keseluruhan bahan bakar bensin. Bioethanol dapat dihasilkan dari tumbuhan yang mengandung hidrokarbon tinggi. Kelebihan energi bioethanol ini adalah mampu meningkatkan angka oktan pada bahan bakar sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja mesin modern. Keuntungan yang lain adalah rendahnya emisi gas berbahaya hasil pembakaran dari pada gas buang hasil pembakaran bensin. Bioetanal cukup potensial dikembangkan di Indonesia mengingat potensi lahan yang cukup luas untuk pengembangan bahan baku pembuatan etanol.

Bioetanol merupakan etanol atau bahan alkohol hasil proses fermentasi. Bahan ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang disebut gasohol yang merupakan paduan dari gasoline dan alkohol. Gasohol merupakan campuran 90 persen bensin dan 10 persen bioetanol yang dikenal sebagai Gasohol BE 10. Hasil campuran bensin dan bioetanol menghasilkan emisi karbonmonoksida dan hidrokarbon yang lebih minim dibanding bensin premium yang beredar saat ini, juga dapat meningkatkan angka oktan sehingga menghasilkan jenis bensin baru yang lebih baik dan lebih ramah lingkungan. Perkembangan bioetanol ini juga akan dapat menghemat devisa dari pengurangan impor premium. Disamping itu pengembangan bio ethanol dapat menggerakan sektor agribisnis dan ketenagakerjaan serta memberikan nilai tambah produksi (Manurung, 2007).

Pengembangan Bioetanol sudah banyak dilakukan di Indonesia. Kira-kira 23 tahun lalu, sebelum PT. Pertamina (Persero) menjual Biosolar B-5 dan BioPremium E-5, usaha untuk mengembangkan BBN di Indonesia sudah pernah dilakukan. Sesuai Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) sejak tahun 1981, kebijakan utama pengembangan energi nasional telah diarahkan pada empat hal, yaitu intensifikasi, diversifikasi, konservasi, dan indeksasi. Namun, di dalam KUBE tahun – tahun berikutnya, kebijakan indeksasi dihilangkan dan tiga kebijakan yang lain dan tetap dipertahankan dengan pergeseran nilai prioritas. Salah satu wujud diversifikasi energi yang menonjol saat itu adalah mulai dirintisnya penelitian dan pengembangan salah satu BBN, yaitu bioetanol. Pada tahun 1983 penelitian bioetanol dari singkong mulai dirintis oleh Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) di Desa Sulusuban, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Saat itu produksi singkong di daerah – daerah transmigrasi, seperti di Lampung Tangah dan Tulang Bawang, melimpah. Namun, tak ada pabrik yang mengolah singkong menjadi produk jadi, misalnya tapioka. Sehingga B2TP mengembangkan riset bioetanol berbahan dasar singkong. Riset berlangsung secara intensif dan ekstensif. Proyek Bioetanol telah tuntas diuji dan dikaji bersama dengan produsen kendaraan bermotor.
Salah satu pohon sumber energi hijau yang potensial yang akan dikembangkan di Indonesia adalah (Callophylum inophyllum), energi yang dihasilkan adalah biofuel yang tidak akan pernah habis selama tersedia tanah, air, dan matahari. Pohon ini di KPH (Kepala Pemangkuan Hutan) Kedu Selatan sedang dikembangkan penanamannya, selain sebagai tanaman mencegah abrasi, pohon ini juga dikembangkan sebagai ring III untuk pencegah abrasi pantai. Ring I adalah Bakau, Ring II adalah Ketapang Laut, dan Ring III adalah Nyamplung (Dwi Witjahjono, 2008). Nyamplung (Callophylum inophyllum) tumbuh baik di daerah pantai, berbuah sepanjang tahun dan pertama kali berbuah pada umur 7 tahun dengan produksi 25-50 kg biji basah per pohon. Tinggi pohon mencapai 20 meter dengan diameter 20-35 cm pada usia 28 tahun. Pengembangan tanaman nyamplung di KPH Kedu Selatan dilaksanakan di wilayah seluas 86,9 hektare dengan jumlah pohon mencapai 10.814 pohon dan membentang sepanjang Pantai Ketawang. Sementara itu, Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Departemen Kehutanan Bintoro mengatakan, seluas 350 hektare lahan tepi pantai di Kabupaten Cilacap dijadikan area hutan tanaman nyamplung, cemara laut (Terminalia catapa) dan ketapang laut (Casuaria equisetifolia). Budi daya nyamplung, saat ini disebut sebagai primadona karena mampu menghasilkan biofuel dari buah keringnya sebagai bahan bakar minyak (BBM) alternatif. Sehingga Dephut lebih mengedepankan partisipasi masyarakat dalam mengelola potensi hutan. Oleh sebab itu Dephut telah menyediakan sekitar 3 juta bibit untuk alokasi penanaman di 3.000 hektare lahan. Sementara untuk Cilacap dialokasikan 148.222 batang pohon nyamplung.
Selama mau menanam, membudidayakan, serta mengolahnya menjadi produk bermanfaat seperti bahan bakar. Tanaman nyamplung bisa menjadi primadona sumber energi alternatif

Energi Bio Diesel

Biodiesel adalah bahan kimia yang dipakai sebagai chemical additive untuk minyak diesel atau sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan karena berasal dari minyak tumbuh-tumbuhan. Bio diesel dihasilkan dari minyak nabati, lemak hewani, ganggang atau bahkan minyak goreng bekas sebagai bahan bakar kendaraan. Namun bila diproduksi dalam skala besar akan meningkatkan beban lingkungan karena budidaya monokultur atau perkebunan dengan satu jenis tanaman dapat mengurangi produktivitas lahan serta mengganggu keseimbangan ekosistem. Kelemahan penggunaan biodiesel atau ethanol murni sebagai bahan bakar kendaraan adalah perlu modifikasi pada mesin karena ethanol dan biodiesel antara lain akan bereaksi dengan karet dan plastik konvensional. Rencana pengambangan biodiesel di indonesia merupakan salah satu program aksi dari Deklarasi Bersama tentang Gerakan Nasional Penganggulangan Kemiskinan dan krisis BBM melalui rehabilitasi dan reboisasi 10 juta Ha Lahan kritis dengan tanaman penghasil Energi. Deklarasi berdasarkan pertimbangan : (1) Jumlah penduduk miskin semakin meningkat (36,1 juta), terdiri dari 11,5 juta penduduk kota dan 24,6 juta jiwa penduduk desa; (2) lahan kritis yang semakin meningkat (21,9 juta ha) yang terdiri dari 15,3 juta ha kritis dan 6,6 juta ha potensial kritis; (3) Subsidi BBM mencapai 60 juta kiloliter, terdiri dari premium 20 juta kiloliter, solar 22 juta kiloliter, minyak tanah 12 juta kiloliter, dan minyak bakar 6 juta kiloliter.

Total bahan bakar yang dapat diganti oleh biodiesel jarak pagar berjumlah 40 juta kiloliter/tahun, yaitu solar, minyak tanah, dan minyak bakar. Dengan taksiran rendah (1 ha = 3 ton biji, 3 ton biji = 1 ton minyak) maka lahan jarak pagar yang diperlukan adalah 40 juta ha. Untuk memenuhi Peraturan Presiden No. 5/2006, yaitu 20 tahun mendatang (2025) harus dipenuhi 5% dari kebutuhan pada tahun tersebut. Dengan perhitungan kenaikan konsumi BBM rata-rata 6%/tahun maka total kebutuhan solar pada tahun 2025 adalah 128,3 juta kiloliter. Target pemerintah untuk bisa memasok sebesar 5% dari kebutuhan tersebut adalah 5% dari 128,3 juta kilooliter atau 6,41 juta kiloliter. Untuk memenuhi kebutuhan minyak sebesar itu, diperlukan total areal seluas 6,41 juta ha atau perluasan arealyang diperlukan setiap tahun selama 20 tahun adalah sebesar 321.000 ha.

Menurut Immanuel Sutarto, Presiden Direktur PT Eterindo, di Indonesia diperkirakan pemakai solar per tahun 44 juta kiloliter. Menurut data dari Direktorat Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk industri sekitar 6 juta kiloliter solar. Bila memakai 20 persen biodiesel maka diperlukan1.200.000 kiloliter/tahun. Untuk kebutuhan PLN sekitar 12 juta kiloliter solar, bila memakai 20 persen biodiesel maka dibutuhkan 2.400.000 kiloliter/tahun. Sedangkan sektor transportasi saja membutuhkan 26 juta kiloliter solar dan jika memakai 2 persen biodiesel maka dibutuhkan 520.000 kiloliter.Total kebutuhan biodiesel secara nasional mencapai 4.120.000 kiloliter/tahun. Sementara kemampuan produksi biodiesel pada 2006 baru 110.000 kiloliter/tahun. Pada 2007 ditingkatkan kapasitasnya sampai 200.000 kiloliter/tahun. Sementara produsen lain pada 2007 akan mulai beroperasi. Sehingga diperkirakan kapasitas mencapai sekitar 400.000 kiloliter/tahun. Permintaan eskpor cukup banyak, mencapai jutaan ton/tahun, baik ke negara-negara Asia, terutama Singapura, Jepang dan negara Eropa lainnya. Untuk ekspor, tidak ada tata niaga khusus (bebas), selama mengikuti persyaratan kualitas dan harga. Sedangkan untuk lokal, masih menunggu aturan tata niaga dari pemerintah. Sehingga pemerintah segera mengeluarkan tata niaga biodiesel agar jelas sistem penjualan dan distribusi kepada masyarakat.

Energi Biogas

Salah satu sumber energi alternatif adalah biogas. Gas ini berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion. Proses ini merupakan peluang besar untuk menghasilkan energi alternatif sehingga akan mengurangi dampak penggunaan bahan bakar fosil (Agung Pambudi, 2008). Biogas adalah campuran gas-gas dari biomasa yang dihasilkan dan mendayagunakan bakteri melalui proses fermentasi bahan organik dalam keadaan anaerob (tanpa oksigen). Dalam keadaan hangat, basah dan kurang udara maka bakteri akan mencerna bahan organik dan akan menghasilkan gas methan yang mudah.terbakar. Hasil fermentasi bahan organik akan menghasilkan gas yang berupa gas methan (CH4) 51 – 70%, carbondioksida (CO2) 26 – 45%, carbonmonoksida (CO) 0,1%, nitrogen (N) 0,5 – 3%, Oksigen (O2) 0,1% dan sedikit hidrogensulfida(H2S).Nilai kalori gas methan mencapai 8.900 kkl/m3. Perkembangan proses Anaerobik digestion telah berhasil pada banyak aplikasi. Proses ini memiliki kemampuan untuk mengolah sampah/limbah yang keberadaanya melimpah dan tidak bermanfaat menjadi produk yang lebih bernilai. Aplikasi anaerobik digestion telah berhasil pada pengolahan limbah industri, limbah pertanian limbah peternakan dan municipal solid waste (MSW). Pusat Litbang Hasil hutan sejak th 1985 sampai 1990 telah merintis pengembangan energi biogas dengan bahan baku MSW (municipal Solid waste) dengan teknologi SSF (Solid state fermentation), kegiatan ini telah mencapai pilot plan dengan masukan bahan 1 ton per hari.

Energi dari sampah (Waste to Energy)

di Indonesia bercampurnya plastik (non organik) dengan sampah organik merupakan kendala utama dalam pengolahan sampah menjadi listrik, sehingga menghambat proses digester anaerobik, mengingat sampah plastik sangat sulit diolah oleh jasad renik. Bercampurnya plastik juga mempersulit penanganan dalam pirolisis, gasifikasi dan incinerator karena sampah plastik mempunyai temperatur terurai yang berbeda dibandingkan bahan organik yang lain. Penggunaan temperatur operasi yang keliru dapat menyebabkan polusi yang berbahaya. Bercampurnya sampah organik kering dan basah juga menyebabkan nilai kalor dari sampah menjadi turun. Sampah di Indonesia diperkirakan hanya mempunyai nilai kalor 1.000-2000 kkal/kg dan jauh dibawah LHV biomass yang 15-20 MJ/kg. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa nilai kalor sampah di Indonesia mencapai adalah 3.000-4.000 kkal/kg. Menurut prediksi harga listrik dari sampah dapat dijual ke PLN adalah Rp 400/kWh. Teknologi yang dijadikan rujukan oleh Indonesia adalah teknologi dari China. Pada bulan Desember 1998, China (Shanghai Pudong City Heat Energy) membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTsa) dengan kapasitas 35-40 MWh. Dengan nilai investasi 670 juta yuan (87 juta $) dapat mengolah sampah 1.100-1.200 ton sampah/hari. Hitungan kasar ini adalah 1 ton sampah perhari menghasilkan listrik 31.8 kWh dengan biaya investasi 2.5 juta $ (Rp 24 ) per MW ha tau 79 ribu $ perton sampah. Dengan demikian sampah akan menjadi salah satu sumberdaya berharga untuk bisnis masa depan. Selain teknologi, aspek ke-ekonomian, tentu peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat-sangat dibutuhkan untuk menciptakan kota/desa yang bersih.

Di Indonesia PT PLN bersama Pemerintah Kabupaten Bandung membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS), merupakan pilot project pertama di Indonesia, dimana sampah sebagai bahan baku pembangkit energi (Widiono, 2007), pembangunan PLTS di Tempat Pembuangan Sampah Akhir Babakan, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung merupakan kepedulian PLN dalam menangani sampah di Bandung, merupakan karya ITB dengan mengaplikasikan teknologi pengelolaan dan pengolahan sampah menjadi sumber energi dengan konsep WTE (Waste to Energy). Menurut Kepala Pusat Rekayasa Industri ITB, Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek, dengan kondisi TPA Babakan yang mengelola sampah 200 ton per hari, maka PLTS akan mampu membangkitkan listrik berkapasitas antara 300 - 500 kilowatt yang diperkirakan akan mencukupi kebutuhan daya listrik bagi sekitar 500 rumah serta kebutuhan operasional PLTS sehari-hari secara berkelanjutan. Selanjutnya dikemukan juga bahwa prakiraan perhitungan pengelolalaan sampah, potensi listrik sampah Bandung memiliki nilai kalori 1.500-2.500 kkcal/kg dengan efisiensi pembangkit 25 persen. Energi listrik yang dihasilkan per ton sampah per hari sebesar 18-30 kw. Manfaat lain dari pengolahan sampah ini akan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 120.000 ton CO2 /tahun dan residu sisa pengolahan akan bernilai 2-3 persen.

Program pemerintah 2000 desa mandiri energi

Desa Mandiri Energi adalah desa yang dapat menyediakan energi bagi desa itu sendiri, sehingga bisa membuka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan menciptakan kegiatan-kegiatan produktif. Desa Mandiri Energi juga merupakan desa yang menjadi percontohan penggunaan energi terbarukan. Terdiri dari dua jenis sumber energi yaitu: desa yang dikembangkan dari energi terbarukan non nabati, seperti energi mikrohidro, tenaga surya dan atau biogas, dan desa yang menggunakan energi nabati seperti biofuel. Menurut Mentri ESDM, target pemerintah terbentuknya 2000 Desa Mandiri Energi sampai akhir masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pada 2009 (Yusgiantoro, 2007). Hal ini didasari oleh pidato Presiden pada saat rapat terbatas agar jumlah Desa Mandiri Energi ditingkatkan dari 140 desa pd th 2007, menjadi 200 desa pada th 2008 hingga pada akhir masa kabinet ditingkatkan menjadi 2.000 desa, dengan rincian masing-masing 1.000 desa untuk setiap jenisnya. Mentri ESDM juga menekankan bahwa Desa Mandiri Energi bukan desa tertinggal, melainkan desa yang diharapkan bisa mandiri secara energi, dan menjual kelebihan energinya ke pihak lain.

Tujuan pengembangan Desa Mandiri Energi antara lain: untuk mengurangi angka kemiskinan dan membuka lapangan kerja, selain juga untuk substitusi bahan bakar minyak. Saat ini Indonesia mempunyai 100 Desa Mandiri Energi, binaan Departemen ESDM, Pertanian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Negara Daerah Tertinggal, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Departemen Kelautan antara lain : 81 kabupaten berbahan bakar non-nabati dan 40 Desa Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati.

PENUTUP

Penelitian dan pengembangan perlu membuat terobosan untuk menjadikan sumber energi hijau dan terbarukan segera dapat dimanfaatkan secara nyata. Terobosan tersebut harus menyangkut aspek kebijakan riset, pengembangan dan penerapan teknologi pemanfaatan energi terbarukan yang dapat diaplikasikan dengan mudah dan menghasilkan energi yang murah. Bahan bakar nabati berbeda dengan bahan bakar dari fosil, BBN dengan sifatnya yang mudah diperbaharui, tidak mencemari lingkungan, kontinuitasnya terjamin, dan bisa menjadi mesin penggerak ekonomi masyarakat, membuat BBN sangat relevan dan mendesak untuk segera direalisasikan pengembangannya. Oleh karena itu pengembangan Bahan Bakar Nabati sangat penting.

Pengembangan teknologi tepat guna untuk menghasilkan energi hijau dan energi terbarukan lainnya mutlak perlu diaplikasikan karena selain memberi banyak harapan bagi petani, juga mengatasi persoalan limbah organik dengan konsep zero waste serta pasokan energi untuk pengolahan pun lebih mudah dengan biaya jauh lebih murah. Sehingga penggunaan BBM pun menjadi jauh berkurang bahkan bisa ditiadakan dan akhirnya akan mengurangi emisi. Selain itu yang diperlukan saat ini adalah keinginan kuat dari pemerintah untuk mewujudkannya. Tanpa dukungan politik yang jelas, pengembangan teknologi seperti apapun sangat sulit untuk diterapkan. Jadi, yang harus dibenahi adalah visi pemerintah tentang paradigma pengembangan teknologi di negeri yang kaya sumber daya alam ini, sekaligus prediksi terhadap dampak lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2007. PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Sampah rekayasa ITB siap operasi tahun 2008. Majalah Profesi. Forum dinamika sain dan teknologi. Kamis 23 Agustus 2007.

Anonimus. 2008. Dampak kenaikan harga BBM, Perhutani bantu masyarakat melalui energi biomassa. Humas Perum Perhutani. Warta Perhutani. Senin, 09 Juni 2008
Daugherty E.C, 2001, Biomass Energy Systems Efficiency:Analyzed through a Life Cycle Assessment, Lund Univesity.

Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2004, Potensi energi terbaharukan di Indonesia, Jakarta

Gatot Irawan & Khomarul Hidayat. 2004. Prospek Biodiesel Cerah
Instruksi Presiden, Instruksi Preiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternative, Jakarta.

Presiden Republik Indonesia, 2006, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Jakarta

Purnomo Yusgiantoro. 2007. Pemerintah Targetkan 2.000 Desa Mandiri Energi. Pidato Presiden. Antara News. 14/02/07 20:31

Pambudi. A. 2008. Pemanfaatan Biogas Sebagai Energi Alternatif. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Tim Nasional Pengembangan BBN, 2007, BBN, Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan Sebagai Pengganti Minyak Bumi

Wahono Sumaryono .Deputi bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT

Widodo Eddie. 2007. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Mulai Dibangun. Wawancara eksklusif Tempo interaktif dengan Direktur Utama PLN Eddie Widiono. Jum'at, 28 September 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar